Menuju Operasi Pertamaku: Odontectomy (3)

(lanjutan)

Hari Sabtu yang kutunggu-tunggu akhirnya tiba. Setelah browsing di Mbah Google sekali lagi (a.k.a berkali-kali) dan membaca berulang-ulang artikel Kompasiana yang aku save, akhirnya aku menyadari bahwa berani itu bukan pilihan.

Siapa sih yang gak takut ke dokter gigi? Umur boleh aja tua, tapi nyali masih ciut. Setelah sekian lamanya, terakhir ketika aku kuliah tingkat akhir aku ke dokter gigi, akhirnya aku akan kembali ke rumah sakit khusus poli gigi dan khususnya dokter bedah mulut. Aku sudah bilang kepada orang tuaku kalau antrian BPJS sangatlah panjang dan butuh kesabaran. Harus berkorban datang pagi-pagi untuk curi start. Tapi orang tuaku agak lelet dan menganggap bahwa aku terlalu 'lebay'.

"Pah, ayooo... ini udah jam setengah 6 loh. Rumah sakitnya buka jam 8 tapi orang BPJS udah antri dari subuh. Atasan Nanda juga nyaranin dari subuh. Bahkan office girl di tempat Nanda dari jam 1 pagi, jadinya nginep semalem."
"Ah kamu lebay. Rumah sakitnya juga buka jam 8 kok. Ini pas berangkatnya jam setengah 6."
"Yee...Papa gak percaya. Coba aja lihat nanti di rumah sakitnya. Pasti antriannya udah panjang."

Selama di mobil aku agak berdebat dengan orang tuaku khususnya Papa karena gak percaya antrian BPJS sepanjang jalan kenangan (?). Mamaku gak banyak bicara. Aku hanya ingin cepat-cepat sampai jadi Papaku membawa mobil agak laju.
Tibanya di sana kami masuk ke poli reguler RS PMI Bogor. Papa menurunkan aku dan Mama di depan pintu masuknya lalu Papa cari parkir. Dan benar, antrian sudah mengular dari tempat ambil karcis yang dijaga satpam berbaju hitam sampai ke tempat duduk yang hampir paling belakang. Aku masuk dan langsung dihadang massa yang tanpa basa basi menunjukkan tempat aku harus berdiri antri. Giliran antri karcis BPJS, tertib sampai menentukan tempat antri untuk orang lain. Biasanya kan orang Indonesia susah antri hehehe...
Untung di belakangku ada bapak-bapak tua yang mau terapi kalau gak salah dan ramah sekali. Dia ngobrol banyak dengan Mama. Dia sudah punya kartu RS PMI Bogor dan dia kasih saran untuk membuat kartunya setelah dapat nomor antri BPJS. 

Selagi antri, Papaku tak lama kemudian datang.
"Bener kan, Pa? Antrinya panjang banget. Untung kita pagi-pagi. Papa sih orangnya gak percayaan selalu."
"Ih panjang bener ya. Kamu nomor berapa?" dan langsung terdiam melihat antrian yang panjang. 
"Kan belum dapet nomornya. Gak tau ini bakalan dapet nomor berapa. Semoga aja (pokoknya) bisa dapet giliran diperiksa dokter giginya. Apalagi Nanda udah bawa ronsen sendiri."

Pukul 07.30 antrian sudah dibuka. Sedikit-sedikit antrian mulai maju. Aku melihat antrian di belakangku, ckckck sepanjang ular phyton yang ada di filmnya Angelina Jolie. Tibalah aku di tempat karcis BPJS, ditanyain mau ke poli mana dan mendapat nomor 64 (what the.. @#!$*^$(@*&#%$)
"Tuh kan Pah, bener nomor 64 dari poli gigi! Lama banget dong."
"Itu nomor 64 dari semua poli Nda."
"Enggaklah, kan tadi di awal udah ditanyain mau ke poli mana. Ini juga ada tulisannya kok. Udah dibagi-bagi dari awal mau ke mana."

Dan di belakangku, ada mbak-mbak yg mau ke poli gigi juga (nguping). Dia nomor 65.
"Mbak, mau ke poli gigi juga ya? Ke dokter bedah mulut kah?"
"Iya Mbak."
"Barengan yaa."
Dan aku pun berkenalan. Asik dapat teman baru. Mbak ini aku lupa namanya tapi aku ingat dia berkacamata dan berisi badannya. Giginya sih terlihat rapih tapi ternyata bermasalah juga geraham bungsunya. Dia juga sama-sama pasien baru di RS PMI Bogor.

"Ayo Mbak selagi nunggu, kita daftar kartu baru PS PMI Bogor."
Kemudian aku antre lagi tapi gak terlalu panjang dan akhirnya aku mendapatkan kartu RS PMI Bogor dengan mengsi formulir, fotokopi KTP dan BPJS dan KK.

Kartu RS PMI Bogor

Aku langsung duduk dengan bawaan harus sabar sementara Papaku menanyakan lagi kepastian nomor itu ke penjaga loket karcis antrean BPJS. Tak lama kemudian, Papaku menjelaskan bahwa nomorku udah dibarengi dengan poli-poli yg lain. Jadi poli gigi bersama dengan poli A, poli B, poli C, poli D, itu udah jadi 1 kesatuan. Artinya nomor 64 itu bakalan cepet dipanggil. Papaku mencoba menghiburku dan aku mulai mengerti. Langsung setelah itu, aku mencari kantin untuk membeli sarapan. Selagi menunggu, aku ngobrol dengan Mbaknya kalau aku sudah memegang ronsen gigi dan aku menyarankan Mbaknya untuk ronsen juga untuk curi start. Setelah itu, dia duduk di tempat lain.

Benar ternyata kata Papaku. Poli aku cepat berganti nomornya. Setelah 1 jam menunggu, udah sampai nomor 50-an dan tak lama kemudian nomorku dipanggil. Aku berdiri di depan loket D sesuai dengan polinya lalu menyerahkan nomor antrian dan surat rujukan sebelumnya. Aku yg termasuk orang observer, langsung mengamati seluruh ruangan itu beserta orang-orang di dalamnya. Cukup rapih (apa karna masih pagi?) dan petugas loketnya ramah. Akhirnya aku mendapatkan kwitansi BPJS dan kwitansi RS PMI Bogor dan ternyata....tulisan di kwitansi BPJSku jenis kelaminnya adalah L (laki-laki). Aduh, udahlah lama-lama antre, masa tinggal copas doang dan secara petugasnya kan lihat gue langsung??! Langsung balik lagi motong antrean yg ada.

"Mas kok ini tulisannya laki-laki ya jenis kelaminnya?"
"Coba lihat kwitansinya. Mbak, ini salah tulisannya di kwitansi BPJS nya bukan di kwitansi kami. Di kwitansi kami, jenis kelaminnya udah perempuan. Berarti ada yg salah di pengisian data BPJS. Silakan ke kantor BPJS untuk edit datanya Mbak."
"Oh begitu ya..."
"Sebaiknya langsung cepat diurus Mbak buat di masa mendatang. Jenis kelamin ini mempengaruhi proses tindak lanjut dari RS kalau suatu saat Mbak ke dokter kandungan, dokter kelamin dan sebagainya."
"Oh iya benar juga ya. Oke Mas, makasih ya Mas" (Seketika langsung ingat orang kantor yang mengurusi BPJS hmm)

Duduk di depan ruang tunggu poli gigi dan bedah mulut dan langsung chat orang SDM kantor. Ruang tunggunya gak terlalu ramai, hanya saja entah kenapa aku ingin cepat-cepat masuk. Kemudian, mbak teman baruku juga duduk di sebelahku. Ruangan poli gigi ternyata tidak terlalu besar dan mempunyai 2 pintu kaca blur dan geser kelihatan samar-samar dari ruang tunggu. Pintunya geser dan terbuat dari pintu kaca yg blur. Namun aku bisa melihat kalau di balik pintu itu ada meja administrasi yg berwarna coklat dan tak ada orang di sana.

Selang beberapa menit, orang pertama masuk. Kedua, ketiga, dan akhirnya aku. Aku masuk bersama Mama sementara Papa sudah pulang dari tadi karna ada urusan lain. Aku duduk dan melihat ada 1 kursi pasien di depanku beserta alat-alat besinya yg terlihat bersih. Pertama aku disambut oleh asisten dokter laki-laki yang memakai masker. Aku menceritakan keluhanku dan disuruh duduk di kursi pasien. Tak lupa juga memberikan ronsen gigi (bangga banget udah bantuin dokternya dan curi start). Dokter mengambil kait besi dan mulai "menyodok" gigi bungsuku. Sebentar saja, tak lama aku disuruh kembali lagi ke meja dokter. Dokternya tak banyak bicara dan langsung menuliskan resep dengan gaya tulisan khasnya. Dokternya cukup tua, sudah mulai membotak di tengah-tengah kepalanya dan beruban, mungkin sekitar umur 50. Dia memberikan aku jadwal 26 September 2018 hari Rabu untuk operasi bedah mulut.

"Masih merasakan nyeri gak?"
"Masih Dok"
"Yasudah ini saya kasih pereda nyerinya. Diminum kalau sakit saja ya. Dan jangan lupa bawa hasil ronsen giginya ketika operasi nanti."
Dan dia lanjut menuliskan resep dan kartu riwayatku di poli gigi di RS ini.

Setelah itu aku masuk ke ruangan di sebelahnya yg ternyata lebih besar. Di ruangan itu lebih lengkap dan banyak kursi pasiennya dan hanya ada 1 mbak-mbak asisten. Aku memberikan kertas resep dari dokter BM ke mbak-mbak tersebut dan disuruh tunggu. Mbak itu menuliskan kertas baru dan memberikan aku 1 kertas saja yg berisi jadwal operasi dari dokter serta resep.

"Nanti tanggal 26 September 2018 Mbak tinggal datang aja lg ke sini bawa kertas jadwal dokter, tetap antre BPJS seperti biasa, seperti yg Mbak lakukan tadi pagi, lalu tinggal kami tindaklanjuti operasi. Kalau bisa dateng pagi ya Mbak."

Aku berterima kasih karna proses itu cepat dan akhirnya membuahkan hasil. Finally, aku sah dapat jadwal operasi yang gak terlalu lama seperti di RS Marzuki Mahdi. Ketika keluar dan berjalan menuju apotek untuk tebus obat, aku gak melihat mbak teman baruku lagi. Aku mendapat obat antibiotik dan pereda nyeri.


Surat Keterangan Dokter mengenai Jadwal Operasiku

Hari itu, Rabu 26 September 2018 aku bersiap-siap dari pagi hari bersama Mamaku pergi ke RS PMI Bogor dengan perasaan senang sekaligus takut. Naik kereta ke Stasiun Bogor, lanjut pakai angkot 03 lalu tiba di RS PMI Bogor sekitar jam 09.15. Setibanya di sana aku langsung ke tempat karcis BPJS dan menunggu dipanggil. Tak lama kemudian aku dipanggil ke loket 4 poli D. Aku memberikan nomor antrian dan surat jadwal operasi lalu mbak-mbak itu memproses administrasiku. Setelah sedikit ngalor ngidul sama mbak-mbak itu, akhirnya aku mendapat kwitansi BPJS dan kwitansi RS PMI Bogor.

Aku langsung berjalan menuju poli gigi yang tak jauh dari loket utama lalu permisi masuk ke ruangan poli gigi.
"Mas, saya mau operasi gigi hari ini." sambil menyerahkan surat jadwal operasi kepada mas-mas perawat berbaju coklat.
"Oh iya mbak. Silakan duduk Mbak. Kita cek tensi dulu ya sebelum operasi."
Setelah dicek...
"Mbak ternyata tensinya rendah nih. 90/60. Kalau operasi tensinya harus normal."
"Oh yaudah Mas saya makan lagi deh."
"Kebetulan dokternya juga belum datang. Nanti datang sekitar jam 10an. Mbak makan dulu aja nanti ke sini lagi jam 10an ya. Mbak dapat nomor antrian 4."
"Oke Mas, makasih ya."

Aku dan Mama langsung mencari makanan di luar RS. Sebenarnya ada kantin RS banyaknya jualan kue-kue tradisional, jajanan pasar tapi harganya agak kemahalan dan sedikit. Aku memutuskan untuk cari makanan di sekitar Botani Square sekaligus menikmati udara pagi hari di tengah kota. Sesampainya di Botani, ternyata masih tutup dan aku langsung kepikiran siomay Bandung dekat terminal Damri tak jauh dari Botani. Kami makan di sana sambil minum es cincau. Melihat jam tangan masih jam 10 pagi kurang, aku memutuskan untuk ke Ngesti swalayan untuk beli susu dan sari kacang hijau (merk Ultra kesukaanku) dan... kebablasan beli yang lain-lain (permintaan Mama). Setelah itu, tergugah untuk nraktir Mama pempek asli Palembang persisi di pintu masuk Ngesti sekaligus persiapan sebelum operasi karena setelah operasi gak bisa makan. Tak terasa melihat jam sudah pukul 10.30. Aku langsung berjalan cepat menuju RS lagi.

Setibanya di sana di poli gigi...
"Mas, saya yang tadi mau operasi."
"Mbak, sekarang udah jam 10.30 lewat loh. Dokternya udah pergi lagi."
"Yah Mas seriusan?"
"Tadi saya udah manggil-manggil Mbak berkali-kali."
"Saya kan lagi makan di luar Mas."
"Iya tapi kan saya suruh Mbak balik lagi jam 10an. Operasinya juga gak lama kok. Paling 15-20 menit." (gak percaya)
"Saya kira operasinya lama dan saya juga kan nomor 4."
"Iya Mbak tadi pas udah selesai pasiennya, dokternya langsung pergi juga karena ada operasi besar di RS lain."
"Yah Mas gimana dong? Saya udah izin gak masuk kantor loh hari ini."
"Yaudah Mbak duduk dulu."

Sumpah yang namanya bodoh kok bisa begini amat ya? Kesel sama diri sendiri, sedih, dan berusaha pasrah. Wajah Mamaku juga cemberut dan langsung keluar walau udah sedikit berdebat dengan mas-mas perawat. Sementara aku masih duduk di dalam di depan meja administrasi memandangi kosong dokumen-dokumenku yang udah disiapkan oleh mas perawat. Aku kepikiran absensi kantor hari ini.

"Nih Mbak padahal udah saya siapkan loh dokumen-dokumennya. Tinggal ditandatangani aja."
"...." (diam)
"Oh ya, Mbak lg haid gak?"
"Iya saya haid hari ke-5."
"Wah berarti emang bener gak bisa operasi hari ini juga. Kalau lagi haid, gak bisa operasi Mbak. Karna kita takut pingsan. Sampai hari ke-8 itu gak bisa ditindaklanjuti operasi."
"Tapi saya kan haid hari ke-5 Mas. Udah tinggal flek-flek aja."
"Tetap saja Mbak gak bisa. Ketentuannya sudah begitu. Sampai hari ke 8. Lagipula kalau sedang haid, sebenarnya kondisi perempuan lagi lemah."
"Oh gitu ya." (mulai melihat ada harapan)
"Tunggu sebentar ya Mbak, saya ambil surat izinnya."
"Iya Mas."
"Ini saya buatkan suratnya alasannya gimana Mbak?"
"Sesuai kondisi hari ini aja Mas. Operasi dijadwalkan ulang karena haid dan tensi rendah. Jadi biar pihak HRD nya paham."
"Ketat banget ya Mbak kayaknya. Kerja di perusahaan Cina ya?"
"Di pemerintahan sih Mas. Tapi, ya gitulah. Ditulis ya Mas tensi saya berapa dan hari haidnya ke berapa."
"Ini ya Mbak udah jadi. Nanti Mbak ke loket utama lagi buat ambil surat jadwal operasi yang hari ini. Bilang aja kalo operasinya gak jadi hari ini dan disimpan ya. Saya jadwalkan hari Senin, 1 Oktober ya reschedule operasinya."
"Oke deh Mas, makasih ya."

Keluar ruangan dengan gontai lemah lesu lunglai sekaligus kesel tapi akhirnya pasrah. Pergi ke loket utama untuk ambil surat operasi yang gak jadi lalu pulang menuju rumah bersama Mama. Mama juga terdiam.

"Yaudah, Nda nanti kasih tau aja ke orang HRD nya tentang hari ini. Mama juga gak inget kalau haid gak boleh. Waktu kita pertama kali datang terus dapet jadwal hari ini, perasaan Mama dokternya gak bilang apa-apa. Apa Mama lupa juga ya?"
"Nanda juga gak inget Ma. Perasaan cuma disuruh dateng pagi dan bawa ronsen. Yaudahlah yg penting udah dapet surat izin hari ini. Tensi rendah kan harus istirahat juga daripada Nanda ke kantor hari ini sampai sana cuma kerja bentar terus pulang. Mending dari awal gak masuk. Ribet soalnya ngurusnya. Hari Senin gak masuk lagi deh. Eh tapi kan udah bulan Oktober Ma. Jadi masuk rekapan bulan Oktober, bukan September."
"Iya."

Hikmah pelajaran banget hari ini adalah "Jangan menyepelekan jadwal dan sok-sok datang ngaret mentang-mentang Indonesia suka ngaret."

Besok harus siap-siap masuk kantor dengan alasan logis. Semangat.



Comments

  1. Dear Mba Nabilah,

    Mau tanya klo ke drg. sutarto ga pake bpjs apakah jadwal operasi nya lama juga?tau ga ya kena biaya brp?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalo gak pake bpjs, kalo mau cepet ke afiat aja mbak. Apalagi kalo udah sakit banget. Waktu itu dokternya pernah bilang kalo jadwal operasi dia di reguler (bukan afiat) itu setiap hari rabu. Ntah itu bpjs atau non bpjs. Tp menurutku sih, sepertinya didahulukan sesuai prioritas diagnosa dokter. Untuk biayanya, sepertinya berkisar 1-2 juta per tindakan mbak.

      Delete
  2. Kalau dari RS PMI mau ke stasiun Bogor lagi naik apa dan dimana nunggu angkotnya

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Menuju Operasi Pertamaku: Odontectomy (2)

Menuju Operasi Pertamaku: Odontectomy